![]() |
||
KANTOR POLISI SEKSI I BARON
ALAMAT
Polsektabes Laweyan, Jl. Dr. Rajiman No. 343 Surakarta
FUNGSI BANGUNAN
Sebelum Peristiwa 1965:
Kantor Polisi Seksi I Baron-Laweyan
Saat Peristiwa 1965:
Tempat penahanan dan interogasi terutama bagi tapol yang berasal dari wilayah
Kecamatan Laweyan-Surakarta. Para tapol ditempatkan di sel yang terletak di
bagian selatan bangunan. Seksi I Baron menjadi tempat penahanan sementara
sebelum tapol dipindahkan ke kamp lain, seperti Sasana Mulya atau Balaikota
Surakarta.
Sekarang Kantor Polisi Sektor Kota Besar (Polsektabes) Laweyan
PENGUASA TEMPAT PENAHANAN
Aparat kepolisian Seksi I Baron-Laweyan. Aparat kepolisian melibatkan Hanra
dalam proses interogasi.
TAPOL
Seksi I Baron menjadi tempat penahanan dan interogasi baik untuk tapol
perempuan maupun laki-laki. Salah satu tahanan Seksi I Baron adalah Suparto,
anggota sinoman
[1]
yang dikelola Pemuda Rakyat. Ia ditahan di kamp tersebut sejak 11 November
1965 hingga pertengahan Maret 1966. Bersama tiga kerabatnya, Suparto ditangkap pada
malam hari oleh pasukan militer dari kesatuan Siaga yang membawa senjata api,
disertai sejumalh anggota Hanra bersenjata pentungan yang wajahnya ditutup
selembar kain. Sebelum diserahkan ke Seksi I Baron, mereka terlebih dahulu
digiring ke kantor kecamatan untuk dicatat namanya.
11 November 1965 ...
02.30 WIB, setelah ibu membuka pintu karena ada yang mengetuk pintu, masuklah
tentara bersenjata lengkap (perlengkapan perang). Katanya: "Semua
laki-laki keluar, cepat!"
Saya dengan kedua kakak dan Paman Rustam Effendi (tewas 21 April 1966) keluar.
Ibu mengantarkan. Di luar banyak tentara dan orang-orang bertopeng. "Ayo
jalan!" bentak tentara tadi. Kami berjalan menuju ke kecamatan untuk dicatat (kecamatan dulu terletak di selatan SMP-SMA-SMK Murni, Penumping). Kemudian kami dipindahkan ke tahanan Polisi Seksi I
Baron Kecamatan Laweyan
[2]
.
Suparto tidak pernah menerima surat penangkapan/penahanan. Diduga itu
adalah penangkapan pertama di Kelurahan Laweyan, Kecamatan Laweyan. Setelah itu
menyusul penangkapan-penangkapan lain. Menurut Suparto, tapol yang berasal dari
kelurahannya di kamp Seksi I Baron seluruhnya berjumlah 37 orang
[3]
.
Bersamaan dengan penangkapan Suparto dan tiga kerabatnya, kelompok tentara
lain, juga bersenjata lengkap, melancarkan operasi penangkapan massal terhadap
penduduk laki-laki di Kelurahan Penumping, Kecamatan Laweyan. Seperti pada
kasus Suparto, mereka juga digiring terlebih dahulu ke kantor Kecamatan Laweyan
untuk dicatat namanya, kemudian diserahkan ke Seksi I Baron-Laweyan. Dengan
demikian diduga kuat bahwa pada saat yang sama terjadi operasi penangkapan di
kelurahan-kelurahan lain di Kecamatan Laweyan
[4]
.
Haryono adalah pegawai Pusat Koperasi Konsumsi yang berkantor di dalam
wilayah Mangkunegaran. Ia juga aktif dalam kegiatan drumband Pemuda Rakyat.
Haryono ditangkap sekitar pertengahan Desember 1965.
... pada waktu saya lewat, dihentikan sama orang begitu. Orangnya yang satu saya ndak tahu, kenal saja, tahu dia orang Marhenis, PNI Marhaenis. Nah, kemudian saya ndak mau kalau hanya ditangkap begini saja. Saya suruh masuk ke rumah, saya ndak mau. ÒSaudara panggil polisi, boleh.Ó Kemudian dia telpon polisi, panggil, datang, setelah dicocokkan dengan laporannya, KTP saya itu mungkin ndak cocok. Kenyataannya polisinya bilang, ÒHa, ini bukan,Ó gitu kok [5] .
Akan tetapi sang polisi tidak melepaskan Haryono. Dengan dalih diamankan, Haryono dibawa dengan jip ke Seksi I Baron, dan ditahan di sana hingga Maret 1966.
Ada banyak kesaksian di mana pihak aparat keamanan menangkap dan menahan seseorang semata berdasarkan laporan anggota ormas-ormas sipil tanpa pemeriksaan lebih lanjut.
Pada waktu itu pemuda-pemuda PNI banyak bergabung dengan pemuda-pemuda dari Islam. É Wong orang kalau ditangkap itu dibawa ke satu pos gitu, misalnya satu operasi apa-apa itu, kemudian dipukuli, bukan tentara-bukan polisi, ya orang-orang itu [6] .
Suparto mencatat, sejak ia ditahan pada awal November 1965, jumlah tapol di
Seksi I Baron terus bertambah hingga sempat mencapai 300an orang:
12 November 1965. Jumlah
tahanan, baik tahanan kriminal (ditempatkan di sebelah utara) maupun tapol
(ditempatkan di sebelah selatan), saat itu masih bisa dihitung dengan jari.
Usai maghrib empat sel 2x4 meter diisi 10 orang dikunci.
15 November 1965. Hari
demi hari jumlah tahanan terus bertambah. Mereka tidak hanya berasal dari dalam Kota Solo, tapi juga ada tangkapan hasil operasi di jalan-jalan, baik gelandangan maupun orang-orang dari daerah lain yang kemalaman. Jumlahnya tidak lagi bisa dihitung dengan jari. Gembok yang dikunci hanya pintu masuk tahanan.
1 Januari 1966. Penghuni
tahanan semakin bertambah. Moncong bren dari jendela mengarah ke tempat tahanan. Hujan terus mengguyur. Yang semula di halaman berdesak-desakan, tidur sambil duduk-duduk. Hal ini terjadi berbulan-bulan
[7]
.
Baik tapol laki maupun perempuan dicampur dalam satu ruangan. Demikian
menurut penuturan seorang tapol: Itu
ngeri sekali tidurnya itu pakai daun jati [bekas pembungkus makanan] itu. Habis makan itu daun jatinya itu
dibersihkan itu kalau malam itu -- tidak ada tikar ya – di
jubin (lantai) itu tidurnya
[8]
.
Selama menjalani penahanan, baik tapol perempuan maupun laki-laki mengalami
berbagai bentuk tindak kekerasan dalam proses interogasi. Para tapol
mengistilahkan interogasi sebagai ÕpanggilanÕ atau ÔdibonÕ. ÔPanggilanÕ lebih
sering terjadi pada malam hari dan biasanya berlangsung hingga subuh hari. Suparto menulis
bahwa hingga 1 Maret 1966: Panggilan
malam terus ada. Entah siapa namanya [tapol-tapol yang ÕdipanggilÕ] tak teringat lagi di otakku
[9]
.Para tapol yang selesai menjalani
interogasi umumnya kembali ke sel dalam kondisi luka parah atau justru tidak
pernah kembali sama sekali tanpa keterangan apapun dari pihak penguasa kamp. Haryono
menuturkan bahwa mereka yang terluka parah hanya dapat mengandalkan perawatan
sesama tapol dengan memanfaatkan air sumur:
Orang-orang sesudah diperiksa itu mesti diangkat, nggak bisa jalan sendiri. Dan banyak tahanan-tahanan itu yang luka parah di dalam tahan seksi polisi itu. Tapi, ya anehnya sesudah dari dalam pemeriksaan dibawa keluar, digotong diangkat, nggak bisa jalan sendiri. Kemudian, sesudah digerujuk (diguyur) dengan air dimandikan, itu bisa berdiri bisa bergerak lagi, bisa jalan lagi, anehnya begitu [10] .
Haryono sempat mengalami satu kali interogasi, yaitu pada 29 Desember 1965.
Menurutnya, dalam proses interogasi itu ia tidak mengalami penyiksaan: Ópada waktu itu, itu sudah ada perintah tidak boleh memeriksa dengan kekerasan, ada perintah begitu.Ó Bisa jadi, menurunnya tingkat penyiksaan berkait dengan fakta bahwa pasukan RPKAD saat itu sudah meninggalkan Solo menuju Yogyakarta.
Metode yang diterapkan penguasa di setiap kamp tahanan untuk menghancurkan
fisik dan mental para tapol adalah dengan memperlakukan mereka seperti hewan ternak.
Tapol bukan hanya mengalami penyiksaan selama proses interogasi, tapi juga harus
bertahan hidup di ruang tahanan yang luasnya tidak sebanding dengan keseluruhan
jumlah mereka. Pihak penguasa kamp sama sekali tidak menyediakan obat-obatan
maupun layanan kesehatan. Sementara kualitas dan kuantitas makanan yang
disediakan juga tidak memenuhi standar, sehingga untuk bertahan hidup, para tapol
mengandalkan kiriman makanan atau uang dari keluarganya. Demikian tuturan
Suparto:
Sejak masuk tahanan, jatah makan ± 200 gram nasi
putih dengan sayur gudangan.
Mula-mula kami makan menggunakan piring seng yang dicat. Kemudian masing-masing
memakai piring sendiri. ... Makan pagi diberikan pada 13.00 WIB, sedang sore
pada 20.00 WIB. Bagi yang berduit bisa pesan tambahan makanan dengan harga Rp 1,25/piring
(uang baru [nilai rupiah setelah kebijakan sanering pada Januari 1966])
[11]
.
Tapol yang ditahan di Seksi I Baron dan keluarganya juga menjadi sasaran
pemerasan petugas. Sumidi, seorang pengusaha batik dan simpatisan PKI, diminta
untuk menyerahkan uang tebusan Rp 1.500,- uang baru (atau Rp 1.500.000,- uang
lama) jika menghendaki pembebasan ayahnya:
Saya kaget mendengar jumlah yang mereka minta.
Tetapi ibarat ikan, saya sudah masuk bubu pasangan. Keberadaan bapak yang tak
lagi berdaya di tempat penahanan itu telah mereka jadikan sandera untuk
pemerasan. Karena itu, bisa atau tidak bisa, saya terpaksa harus memenuhi
tuntutan mereka. Akhirnya uang berhasil saya dapat dengan menjual sebagian
tanah milik ayah saya. Uang sandera saya serahkan, melalui seorang anggota AURI
dan Polisi, dan beberapa hari kemudian bapak memang mereka lepaskan
[12]
.
BENTUK-BENTUK TINDAK
KEKERASAN
I.
Penahanan sewenang-wenang
II.
Pemerasan terhadap para tapol dan keluarga
III.
Penyiksaan di dalam kamp tahanan
1.
Dalam proses interogasi:
a.
pemukulan (untuk memaksakan pengakuan).
b.
diduga kuat terjadi kekerasan seksual
terhadap tapol perempuan.
2.
Pemberian jatah hidup (makan dan
akomodasi) di bawah standar minimum:
IV.
Penghilangan Paksa
Suparto mengingat sesama tapol yang dihilangkan paksa atau diduga
dihilangkan paksa dari Seksi I Baron, yaitu Sri Trihandono Slamet dan pamannya
sendiri, Rustam Effendi. Rustam Effendi adalah paman Suparto yang ditangkap
bersama-sama dengannya pada minggu kedua November 1965. Menurut ingatan Suparto,
Rustam Effendi adalah salah seorang aktivis Pemuda Rakyat tingkat ranting di
wilayah Laweyan sekaligus penjaga kantor Pimpinan Kota Pemuda Rakyat. Ia
ditangkap bersama tiga ponakannya di rumah oleh tentara bersenjata lengkap pada
11 November 1965 sekitar 02.30 WIB. Setelah digiring ke kantor Kecamatan Laweyan dan dicatat namanya, ia
ditahan di Kantor Polisi Seksi I Baron. Menurut ingatan Suparto, pada 20 Februari
1966 Rustam Effendi di-bon seusai
maghrib dan baru dikembalikan ke sel menjelang subuh dalam keadaan luka di
sekujur tubuh (ÓJari-jari tangan kanan-kiri Paman Rustam Effendi berdarah juga
kepala dan jari-jari kakinyaÓ). Tanpa adanya layanan pengobatan, para tapol
hanya dapat bergantung pada air sumur untuk menyembuhkan luka akibat
interogasi. Demikian pula yang terjadi pada Rustam Effendi. Para tapol
membersihkan luka-luka di tubuh Rustam dengan memandikannya di sumur.
Sejak pertengahan Maret 1966, Suparto dipindah ke Kamp Sasana Mulya, sementara Rustam Effendi tetap ditahan di Seksi I Baron. Suparto selalu
mengikuti perkembangan kondisi Rustam Effendi melalui ibunya. Menurut kabar
dari ibu Suparto, setidaknya hingga 17 Maret 1966, Rustam masih terus di-bon. Suatu hari pada paruh kedua April
1966, seorang bayan dari daerah Jajar
menyerahkan tiga carik kertas kepada Suparto. Ketiga carik kertas tersebut
agaknya merupakan surat-menyurat antara Hanra dan penguasa Seksi I Baron. Isi
ketiga surat itu adalah: Hanra meminta penguasa Seksi I Baron untuk
mengeksekusi Rustam Effendi. Untuk itu penguasa Seksi I Baron meminta imbalan
sepeda motor merk Victoria dan
sejumlah uang. Surat ketiga berisi pernyataan bahwa eksekusi telah dilaksanakan
pada 21 April 1966, menjelang pagi. Pada hari yang sama seseorang menyuruh
keluarga Suparto untuk menyiapkan ayam jago panggang untuk selamatan tanpa
memberitahu alasannya. Kemudian Suparto mendengar cerita bahwa pada hari itu, 21
April 1966, menjelang pagi, Rustam Effendi dan seorang supir gerobak bernama
Sadino dipukuli hingga hampir pingsan. Mereka kemudian diikat menjadi satu dan
dikubur dalam satu lubang. Warga sekitar lokasi eksekusi diperintahkan untuk
menimbun lubang tersebut. Pada 1982, keluarga Suparto membuat kuburan di lokasi
yang diduga sebagai tempat eksekusi Rustam Effendi
[13]
.
Suparto juga mencatat hilangnya Sri Trihandono Slamet, seorang siswa SMEP
(setingkat SMP):
19 Februari 1966.
Kesenangan terganggu. Seusai maghrib ada panggilan kepada nama Sri Trihandono
Slamet, siswa SMEP, harap membawa semua perlengkapannya. Sedangkan dia
ditangkap di sekolah, jadi pakaian seragam yang dipakainya. Ke mana? Pertanyaan yang tak terjawab
[14]
.
Sumber
Erlijna, Th. J. ÒJurnal Pemetaan Kekerasan 1965 di Solo, Lokakarya IÓ. 20-26 Juni 2006 Lingkar Tutur Perempuan. ÒKronik Tragedi 1965 di SoloÓ. Oktober 2006 Lingkar Tutur Perempuan. ÒLaporan
Lokakarya II Pemetaan Kekerasan dalam Tragedi 1965 di SoloÓ. Agustus 2006
Lingkar Tutur Perempuan. ÒNotulensi Lokakarya
III Pemetaan Kekerasan dalam Tragedi 1965 di Solo: Kelompok Diskusi
Bapak-bapak.Ó Solo, 15-16 Oktober 2006
Lingkar Tutur Perempuan. ÒTabel
Kronik Tragedi 1965 di SoloÓ. Agustus 2006 dan rev. Oktober 2006
Pakorba Solo. Ò5 Kronik Tragedi 1965 di SoloÓ. Agustus 2006
Setiawan, Hersri. Kidung untuk Korban, Dari Tutur Sepuluh
Narasumber Eks-Tapol Sala (Sala: Pustaka Pelajar kerjasama dengan Pakorba-Sala dan YSIK, Juli 2006).
Wawancara (semua dengan nama samaran):
Suparto, Solo, 12 & 13 Agustus 2007
Haryono, Jakarta, 20 Juli 2000
|
||
[1] Tenaga-tenaga sukarelawan, umumnya muda-mudi, yang membantu perhelatan di perkampungan Jawa.
[2]
Pakorba Solo, op. cit. (Agustus 2006). Baca juga LTP, ibid. (15-16 Oktober
2006), hal. 35.
[3]
Wawancara Suparto, Solo, 12 & 13
Agustus 2007.
[4]
LTP, ÒTabel Kronik 1965 Solo versi IIIÓ, 15-16 Oktober 1965
[5] Wawancara Haryono, Jakarta, 20 Juli 2000.
[6]
Ibid.
[7]
Pakorba Solo, Ò5 Kronik Tragedi 1965 di SoloÓ, Kronik 1:
Suparto, Agustus 2006.
[8]
LTP, ÒNotulensi Lokakarya III Pemetaan
Kekerasan dalam Tragedi 1965 di Solo: Kelompok Diskusi Bapak-bapak.Ó, Solo,
15-16 Oktober 2006, hal. 28.
[9]
Pakorba Solo, op. cit. (Agustus
2006).
[10]
Wawancara Haryono, Jakarta, 20 Juli 2000.
[11]
Pakorba Solo, op. cit. (Agustus 2006).
[12]
Hersri Setiawan, Kidung untuk Korban, Dari Tutur Sepuluh Narasumber Eks-Tapol Sala (Sala:
Pustaka Pelajar kerjasama dengan Pakorba-Sala dan YSIK, Juli 2006), hal. 98-99.
[13]
Disarikan dari wawancara dengan Suparto (12 & 13 Agustus 2007) dan LTP
ÒTabel Kronik Tragedi 1965 di SoloÓ, Kronik 1: Suparto, Agustus 2006.
[14]
Op. cit, Agustus 2006.
|