![]() |
||
KANTOR POLISI SEKSI II BANJARSARI
ALAMAT
Polsektabes Banjarsari, Jl. R. A. Kartini No. 65, Surakarta. Telp. 644400
FUNGSI BANGUNAN:
Sebelum Peristiwa 1965:
Kantor Polisi Seksi II Banjarsari
Saat Peristiwa 1965: Tempat penahanan dan interogasi terutama bagi tapol-tapol yang berasal dari wilayah Kecamatan Banjarsari dan Serengan. Seksi II Banjarsari berfungsi sebagai tempat penahanan sementara sebelum tapol dipindah ke kamp tahanan lain, seperti ke Balaikota atau Sasana Mulya.
Sekarang
Kantor Polisi Sektor Kota Besar Banjarsari
PENGUASA TEMPAT PENAHANAN
Aparatur kepolisian Seksi II Banjarsari. Salah satu petugas Seksi II
Banjarsari diketahui bernama Mulyono. Pihak penguasa tempat tahanan memberi
peluang pada pihak-pihak lain – seperti penguasa militer dan milisi GPTP (Gerakan
Pelaksana Tjita-tjita Pantjasila; organ yang dididirikan eks-Tentara Pelajar
Brigade XVII) – untuk mem-bon (bon:
pinjam) tapol, membawa mereka keluar dari kamp, dan melakukan tindak kekerasan
apapun terhadap mereka, mulai dari menginterogasi, menyiksa, menghilangkan
paksa, atau bahkan membunuh secara sewenang-wenang.
TAPOL
Kantor Polisi Seksi II Banjarsari atau dikenal di kalangan tapol sebagai Seksi
II, menjadi tempat penahanan baik untuk tapol perempuan maupun laki-laki yang
berasal dari Kecamatan Banjarsari maupun Kecamatan Serengan. Jumlah pasti tapol
yang sempat ditahan di tempat ini tidak diketahui. Akan tetapi beberapa
eks-tapol yang pernah ditahan di kamp ini menuturkan bahwa jumlah mereka begitu
banyak sehingga harus tidur berdesak-desakan beralaskan daun jati, bercampur antara
perempuan dan laki-laki.
Untuk menentukan
pola penangkapan para tapol hingga penahanannya di Seksi II Banjarsari dibutuhkan
penelitian lebih lanjut. Namun berdasarkan informasi yang terkumpul
sampai saat ini diketahui bahwa secara umum ada tiga pola penangkapan: 1) penangkapan
massal satu kampung; 2) penangkapan terhadap sekelompok orang tertentu; 3)
penangkapan terhadap perorangan tertentu. Penangkapan terhadap Sri Haryati
mewakili pola penangkapan kedua, seperti juga penangkapan terhadap Suparto dan
tiga anggota keluarganya (lih. Lembar fakta Seksi I Baron). Demikian Sri Haryati:
Pada suatu ujung senja, selang satu-dua hari sesudah aku pulang
dari Jakarta, beberapa polisi menggerebek rumah kami. Aku ditangkap. Kalau tidak salah komandannya bernama Mulyono. Aku dibawa dengan truk, bersama beberapa
kawan senasib, menuju tempat penahanan Polisi Seksi 2 di Mangkunegaran
[1]
.
Penangkapan terhadap Sriyani, seorang penari anggota Lekra dan guru TK
Melati yang sempat ditahan selama satu bulan di Seksi II Banjarsari, mewakili
pola ketiga, yaitu penangkapan perorangan.
Tahun 65, saat itu saya masih umur 16
tahun. Dulu saya dari Banjarsari. Saya sudah ditangkap sampai sembilan kali,
tapi sampai delapan kali saya lolos terus. Pada penangkapan kesembilan saya
dibawa ke pos Wanra [maksudnya Hanra – Pertahanan Rakyat; organ milisi
bentukan pemerintah]. Saya di-verhoer (interogasi).
Saya dituduh terlibat dalam peristiwa Lubang Buaya. Saya ke Jakarta saja tidak
pernah. Saya juga ditanya kenapa masuk PKI (Partai Komunis Indonesia). Saya
ditodong senjata. Untungnya tidak ada peluru. Saya dituduh anggota PKI. Saya
saat itu belum boleh nyoblos [memilih dalam pemilu]. ... [Paginya] Saya dibawa
ke Seksi II
[2]
.
Delapan kali upaya penangkapan Sriyani dilakukan oleh Hanra, tentara dari
kesatuan Siaga, dan Mahasura (Resimen Mahasiswa Surakarta; organ milisi
mahasiswa). Pada kali kesembilan, penangkapan dilakukan oleh AURI (Angkatan
Udara Republik Indonesia) disertai Mahasura pada tengah malam
[3]
.
Seperti pada kasus penangkapan Suparto dan tiga kerabatnya, Sriyani baru
diserahkan pada pihak kepolisian setelah sebelumnya diinapkan satu hari di pos
Hanra untuk diinterogasi.
Proses penangkapan Sunarti juga mengikuti pola ketiga, namun di dalamnya
mencakup tindak penyanderaan terhadap anggota rumah tangganya. Sunarti adalah guru
Bahasa Indonesia pada sebuah SKP (Sekolah Kepandaian Puteri). Di kampungnya ia
menjabat sebagai ketua ranting Gerwani. Suaminya sempat menjadi pimpinan Pemuda
Rakyat, kemudian diangkat sebagai DPRD Tk. II Surakarta dari F-PKI. Betapapun
bukan anggota Pemuda Rakyat, namun Sunarti ditokohkan karena perannya dalam
membentuk sayap perempuan dalam organisasi tersebut
[4]
.
Ia sempat berhasil menyelamatkan diri dari operasi penangkapan dengan tinggal
berpindah dari satu rumah kerabat ke rumah kerabat yang lain. Namun karena pihak
penguasa menyandera dua pembantunya, Sunarti memutuskan untuk menyerahkan diri.
Terjadi peristiwa [G-30-S] itu, suami saya
jarang di rumah karena dia di kantornya, ya sebagai anggota DPRD dia mempunyai
rasa tanggung jawab terhadap pemerintahan daerah sini. Jadi, saya sendiri sudah ndak pikirkan lagi, ya saya cuma dengan
ngurusi anak-anak itu. Tapi, ternyata juga, saya pun
dicari sebelumnya. Saya setelah dicari itu, saya
disuruh pergi [oleh sesama anggota Gerwani untuk menyelamatkan diri]. Lho, saya pergi ke mana? Ya saya ke tempat
saudara-saudara. Ternyata pembantu saya diambil dua
orang, yang satu itu masih famili, yang satu pembantu saya. Ha, saya
dengar kalau, ÒPembantumu dinggo ijol kowe lho karo bojomu (Pembantumu [ditangkap]
untuk menggantikan kamu dan suamimu lho).Ó Nah, saya cuma dengar dari ibu saya ya, terus saya
masuk [menyerahkan diri]. Akhirnya saya pikir, ÒYa sudah, dari pada pembantu
saya, karena saya sebagai yang bertanggung jawab, jadi ya dari pada mereka,
lebih baik saya saja.Ó Kan kasihan ya gitu, pikiran saya. Sudah satu bulan,
kemudian diambil, terus baru beberapa hari, pembantu saya dua-duanya
dikeluarkan gitu. Memang saya menuntut, ÒKalau saya sudah diambil mengapa
pembantu saya tidak dipulangkan?Ó Jadi saya minta harus dipulangkan
[5]
.
Berbeda dengan Sri Haryati dan Sriyani, Sunarti ditangkap
bukan oleh polisi atau militer, tapi oleh sejumlah orang berpakaian preman yang
berkendaraan roda empat dan ia pun langsung dimasukkan ke tahanan Seksi II
Banjarsari tanpa melalui tempat transit.
Penguasa Seksi II Banjarsari membuka ruang
seluas-luasnya bagi kelompok-kelompok yang tidak berwenang untuk mem-bon dan membawa tapol keluar dari kamp tahanan
tanpa pengawasan. Saat di-bon, apapun
bisa terjadi pada diri tapol. Mereka tidak berhak atas jaminan keselamatan. Sunarti sempat di-bon oleh GPTP (Gerakan Pelaksana Tjita-Tjita Proklamasi), sebuah organisasi
veteran Brigade XVII Tentara Pelajar, ke markas mereka yang terletak di
kompleks pool Bus Eva. Ia tidak
mengalami penyiksaan fisik, namun karena dianggap sebagai ÔpentolanÕ (tokoh) PKI,
Sunarti diancam akan Ôdibawa pergiÕ
[6]
.
Dalam konteks saat itu, istilah Ôdibawa pergiÕ bisa berarti apapun, termasuk dihilangkan
atau dibunuh. Sunarti selamat karena intervensi pasukan AURI. Pasukan AURI yang
menaiki dua panser memerintahkan GPTP untuk mengembalikan Sunarti ke Seksi II
Banjarsari. Pasukan AURI menganggap Sunarti tidak mungkin melakukan apa yang dituduhkan
karena keperempuanannya. Namun dalam kasus Sriyani, keperempuanannya justru
membuat dia menghadapi ancaman perkosaan dari pasukan AURI:
Saya diancam akan diperkosa oleh
tentara-tentara bawahan itu. Saya melawan terus. Satu minggu kemudian saya
dibawa ke kecamatan [Banjarsari]. Saya tetap kukuh. Saya dibawa ke Seksi
II. Saya disuruh menunjukkan rumah
teman-teman saya, tapi saya tidak kehabisan akal. Saya tunjukkan saja
rumah-rumah yang kosong. Di dalam mobil sambil dipukuli
[7]
.
Tapol perempuan yang diinterogasi di dalam kamp Seksi
II Banjarsari tidak selamat dari pelecehan seksual. Demikian penuturan Sri
Haryati:
Dengan tuduhan sebagai Gerwani aku
diperika. Atau lebih tepat aku dipaksa, agar mengiyakan setiap patah kata yang
mereka ajukan. Misalnya dengan berbagai pertanyaan yang dicari-cari, seperti:
apakah aku membawa silet, apakah aku ikut menari-nari ÒHarum BungaÓ di Lubang
Buaya, apakah aku ikut latihan di Lubang Buaya, dan yang lebih ngawur dan tidak
tahu malu lagi: apakah ada tato di payudara atau kemaluanku ...
Aku buka ritsleting belakang rokku.
ÓSilakan pak, periksa saya! Mana
kamarnya?!Ó
Aku tantang mereka.
Tapi mereka tidak mau
[8]
.
Sri Haryati menuturkan bahwa, seperti rekan-rekannya di Seksi I Baron, para
tapol di Seksi II Banjarsari juga diperlakukan seperti hewan ternak:
... begitu ditahan aku jadi ngacanya gini ya,
ngeliat orang-orang itu tidurnya [tertawa], daun jati [bekas pembungkus jatah
makanan] disusun, kalo enggak ujan lho ya, selnya begini, sel, terus
emperan itu buat emperan-emperan, yang lakinya di bawah sana, dikasih daun jati
semua gitu, nanti jam tujuh panggilan gitu, Si A, Si B, Si C, bawa truk bawa,
kalo enggak [ke] Kecamatan
Banjarsari, [ke] Balaikota, itu nanti jam 12, apa pagi, dibawa pulang itu sudah
diseret gitu, sampe tempat [tahanan] diguyuri air ... masak [makannya] nasi
peraÕ [keras], lauknya itu buncis direbus, jadi enggak ada rasa, kacang tolo direbus, udah buntel (bungkus), kasih, namanya menyiksa toh?
[9]
TINDAK PELANGGARAN HAM
I.
Penahanan sewenang-wenang.
II.
Pembonan oleh pihak tak berwenang (militer
– AURI -- dan organisasi milisi -- GPTP).
III.
Penyiksaan di dalam tahanan
1.
Dalam proses interogasi, baik yang
dilakukan di dalam Seksi II Banjarsari maupun saat tapol dibon keluar:
a.
Pemaksaan pengakuan.
b.
Tapol ditodong pistol.
c.
Diancam akan Õdibawa pergiÕ (dihilangkan?
Dieksekusi kilat?)
d.
Kekerasan seksual terhadap tapol perempuan
-
ancaman perkosaan.
-
pelecehan seksual dengan dalih menuduh
tapol memiliki tato di payudara dan atau vagina.
2.
Pemberian jatah hidup (makan dan
akomodasi) di bawah standar minimum:
Sumber
Erlijna, Th. J. ÒJurnal Pemetaan Kekerasan 1965 di Solo, Lokakarya IÓ. 20-26 Juni 2006 Lingkar Tutur Perempuan. ÒKronik Tragedi 1965 di SoloÓ. Oktober 2006 Lingkar Tutur Perempuan. ÒNotulensi Lokakarya III Pemetaan Kekerasan
dalam Tragedi 1965 di Solo: Kelompok Diskusi Bapak-bapak. Solo, 15-16 Oktober 2006
Lingkar Tutur Perempuan. ÒNotulensi Tutur Perempuan SoloÓ, Solo,
17-18 April 2005
Pakorba Solo. Ò5 Kronik
Tragedi 1965 di SoloÓ. Agustus 2006
Setiawan, Hersri. Kidung untuk Korban, Dari Tutur Sepuluh
Narasumber Eks-Tapol Sala (Sala: Pustaka Pelajar kerjasama dengan Pakorba-Sala dan YSIK, Juli 2006)
Wawancara:
Sunarti (nama samaran), Solo, 19/7/00
Sriyani (nama samaran), Solo, 19/4/05
Christina Sri Haryati, Solo, 21/4/05
Atmi (nama samaran), Solo, 12 & 16/4/05
|
||
[1]
Hersri Setiawan, Kidung untuk Korban,
Dari Tutur Sepuluh Narasumber Eks-Tapol Sala (Sala: Pustaka Pelajar kerjasama dengan Pakorba-Sala
dan YSIK, Juli 2006), hal.
239.
[2]
LTP, ÒNotulensi Tutur PerempuanÓ, Solo,
17-18 April 2005, hal. 13.
[3]
Wawancara Sriyani, Solo, 19/4/05.
[4] Wawancara Atmi, Solo, 12 & 16/4/05.
[5]
Wawancara Sunarti, Solo, 19/7/00
[6]
Ibid.
[7]
LTP, op. cit. (17-18 April 2005),
hal. 13.
[8]
Hersri Setiawan, op. cit. (Juli
2006), hal. 239.
[9]
Wawancara Sri
Haryati, Solo, 21/4/05
|