LOJI GANDRUNG
ALAMAT
Jl. Slamet Riyadi, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta
FUNGSI BANGUNAN
Sebelum Tragedi 1965
Rumah dinas walikota Surakarta.
Saat Tragedi 1965
Pasca penangkapan Walikota Oetomo Ramelan, bagian pendopo (serambi) Loji Gandrung digunakan sebagai tempat interogasi.
Sekarang
Rumah dinas walikota Surakarta
PENGUASA TEMPAT INTEROGASI
Pada akhir 1965, penguasa Loji Gandrung adalah militer dan sejumlah organisasi massa, seperti Masyumi, HMI, GPTP (Gerakan Pelaksana Tjita-Tjita Proklamasi; organ yang dibentuk eks-anggota Tentara Pelajar; diantaranya Sigit) dan Mahasura (Mahasiswa Surakarta; diantaranya yang berlaku sebagai tukang pukul adalah Robert, dosen Akademi Ilmu Maritim). Diketahui pula peran seorang pengusaha batik asal Kelurahan Laweyan bernama Pramoedya sebagai salah seorang interrogator di kamp tersebut. Penguasa militer memberi keleluasaan kepada ormas-ormas tersebut untuk mem-bon (meminjam) para tapol dari tempat-tempat penahanan, diantaranya dari Balaikota, dan membawanya ke Loji Gandrung untuk diinterogasi dan disiksa. Unsur militer yang menguasai Loji Gandrung belum teridentifikasi. Namun setidaknya pada 14 Agustus 1967, pasukan CPM dari Pomdam Semarang (diantaranya, Letda Untung Suwardi dan Letda Dimyati), menggunakan tempat ini untuk menginterogasi dan menyiksa seorang tapol. Mereka juga melibatkan anggota GPTP (Sigit) dalam proses interogasi.
TAPOL
Tapol yang hendak diinterogasi di-bon dari tempat-tempat penahanan di Kota Solo, misalnya Balaikota, atau langsung dibawa ke Loji Gandrung setelah penangkapan sebelum dikirim ke tempat penahanan resmi. Sumidi adalah pengusaha batik dan simpatisan PKI. Pasca pecahnya Peristiwa 1965 ia membentuk sebuah organisasi bawah tanah untuk menyelamatkan aktivis-aktivis yang diburu penguasa militer dan para tapol. Kegiatannya tercium oleh penguasa militer. Pada 14 Agustus 1967, lewat tengah malam, sepasukan CPM dari Pomdam Semarang menangkap dan membawanya ke Loji Gandrung untuk diinterogasi.
Saya É di bawah todongan pistol, dan mereka lalu melakukan
penggeledahan di setiap sudut rumah. Ésampai sekitar jam 4 pagi É
Setelah penggeledahan selesai saya dibawa ke Loji Gandrung. Di
sini saya baru melihat, beberapa dari personil CPM itu berasal dari POMDAM
Semarang. Sepanjang hari pada hari itu, mulai dari sekitar jam 6 pagi
sampai 4 sore saya diinterogasi. Mula pertama, sebelum
bertanya soal-soal keorganisasian dan kegiatan gerpol [gerilya politik], ada
beberapa foto yang harus saya identifikasi. Semuanya
hampir tidak ada yang saya kenal. Tetapi mereka ulang dan ulang, dan selalu mereka tutup dengan bentakan:
ÒJangan pura-pura tidak tahu kamu!Ó ... Penyiksaan tentu saja terus-menerus saya
alami. Dari pemukulan dengan tangan telanjang atau dengan alat, tendangan dan
lain-lain, tindisan kaki kursi atau meja di ibujari kaki, juga dengan pensil
ditaruh di antara jari-jemari tangan, kemudian jari-jemari itu ditekan dan
ditekan ... siksaan yang tidak mematikan tetapi menimbulkan rasa sakit yang
amat sangat. Empat orang penyiksa saya di Loji Gandrung, semuanya dari
Semarang, yaitu: Letda Untung Suwardi, Letda Dimyati, dan seorang dari GPTP,
organisasi eks-Tentara Pelajar, yang bernama Sigit. ... Sekitar jam 16.00 saya
sadar dari pingsan karena penyiksaan. Pemeriksaan hari itu dipandang selesai,
dan saya dibawa pulang ke rumah dengan pengawalan ketat
[1]
.
Kadang kala, GPTP berubah peran dari pembantu menjadi pelaku utama
interogasi. Sunarti, ketua Gerwani ranting, yang ditahan di Kamp Balaikota pada
suatu malam sempat dibon GPTP untuk diinterogasi di Loji Gandrung. Maryatun,
anggota Lekra dan istri pimpinan CDB (Central Daerah Besar) PKI Jawa Tengah,
menuturkan bahwa keterlibatan sipil dalam interogasi seringkali dilatari oleh
persoalan pribadi.
[Saya] Dibawa ke Loji Gandrung. Katanya kurang puas keterangannya gitu. Karena saya tidak mau mengakui bahwa saya tu pergi ke Lubang Buaya. Ternyata saya juga tidak. Akhirnya, dia mengatakan, ÒSaya kurang puas kalo, istri dari Kirman itu tidak pergi ke Jakarta, di Lubang Buaya, nyileti jenderal-jenderal itu saya ndak puas.Ó Sekarang, saya tantang, akhirnya saya tantang, Mbak, saya sudah nggak takut mati, ndak. Saya berani mati udah. Daripada saya harus, ngomong, bukan, bukannya harus kita omongkan, beliau mau itu, mau menembak saya lob, lob, ini lob, apa, apa itu yang kecil itu, Mbak, pestol? Itu udah masukkan mulut. ÒSilakan. Silakan kalo Bapak mau mengambil, mengambil nyawa saya dengan cara lob, pestol ini ke mulut saya, silakan,Ó saya bilang gitu, Òsaya tidak berani, saya tidak akan takut mati, Pak, silakan.Ó Saya berdiri, Bu, itu. ÒSilakan.Ó Sini [wajah] udah merah. Seolah-olah saya sudah marah gitu ya. Kemarahan saya aku piye tho, aku dingenek-ngeneke meneng wae kok isih kaya ngono terus (aku gimana sih, aku diperlakukan apapun diam aja kok masih kayak begitu terus)? ... Akhirnya, Bu, saya selesai, itu namanya Pak Pramu itu. Pak Pramoedya itu yang, beliau tu dulu waktu itu sebagai, bosnya ya kalo ____ mestinya pimpinannya ya, pimpinannya entah cabangnya, entah pusatnya saya ndak tahu, itu yang rumahnya di, di mana, di Laweyan. Laweyan itu juga termasuk di tempat suami saya tuh udah kenal. Mungkin ada selisih waktu itu kan suami saya menjadi ini loh, Mbak, ada samben (pekerjaan sambilan) di rumah mbuat batik, batik jegul itu. Batik jegul, karena selisih obat, obat jegul itu, ÒKok kowe entuk (kamu dapat) kok saya ndak bisa?Ó Itu masalahnya yang suami saya dicari-cari karena udah lama dia ini, memendam, apa, kekecewaan masalah bisnis batiknya, saya bisa, ÒKok kamu bisa, kok saya ndak bisa mendapatkan tu bagaimana?Ó Gitu. Salah satu korban yang mengalami penyiksaan berat di Loji Gandrung adalah Sudomo, Kepala Perikanan Darat Kotapraja Surakarta. Ia disiksa, diantaranya oleh seorang anggota Mahasura bernama Robert. Akibat penyiksaan itu, tulang punggung Sudomo cacat (bengkok) dan giginya habis. TINDAK PELANGGARAN HAM
I.
Interogasi oleh pihak yang tak berwenang
(diantaranya GPTP)
II.
Penyiksaan dalam proses interogasi (untuk
memaksakan pengakuan)
1. Tapol dipukuli dengan tangan kosong atau dengan alat
2.
Tapol
ditendangi
3.
Ibu jari kaki tapol ditindas dengan kaki
kursi atau meja
4.
Pensil ditaruh diantara jari-jari tangan
tapol kemudian jari-jemari diremas kuat-kuat.
5.
Memasukkan laras pistol ke mulut tapol
6.
Dicaci-maki sebagai Ôpelacur GerwaniÕ dan
Ôpengkhianat negaraÕ
7.
Teror dan intimidasi dalam bentuk lain.
Sumber
Erlijna, Th. J. ÒJurnal Lokakarya Pemetaan Kekerasan dalam Tragedi 1965 di Solo, 20-26 Juni 2006Ó. Juni 2006 Lingkar Tutur Perempuan. ÒNotulensi Lokakarya III Pemetaan
Kekerasan dalam Tragedi 1965 di Solo.Ó Solo, 15-16 Oktober 2006.
Setiawan, Hersri. Kidung untuk Korban (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar kerja sama dengan Pakorba-Solo dan YSIK, Juli 2006)
Wawancara
Mariyatun, Solo, 19/4/05
Sunarti, Solo, 19/7/00
|
||
[1]
Hersri Setiawan, Kidung
untuk Korban, Dari Tutur Sepuluh Narasumber Eks-Tapol Sala (Sala: Pustaka Pelajar kerjasama dengan Pakorba-Sala dan YSIK, Juli 2006), hal. 100-102. Pengawalan dilakukan oleh
dua anggota CPM Letda Warsidi dan Letda Santimun.
|