![]() |
||
DJAWATAN POLISI KEAMANAN NEGARA SURAKARTA
ALAMAT
Polisi Wilayah Surakarta, Jl. Brigjen Slamet Riyadi No. 376 Surakarta
FUNGSI BANGUNAN
Sebelum Tragedi 1965
Kantor Djawatan
Polisi Keamanan Negara (DPKN) Surakarta
Saat Tragedi 1965
Tempat penahanan
dan interogasi para tapol perempuan maupun laki-laki
Sekarang
Kantor Polwil
Surakarta
PENGUASA TEMPAT PENAHANAN
Polisi DPKN
Surakarta, diantaranya Ajun Inspektur Moertopo dan Ajun Inspektur Darmo.
TAPOL
Sejumlah perempuan korban mengingat DPKN sebagai kamp penyiksaan yang
sangat menakutkan. Maryatun, adalah aktivis Lekra, sedang suaminya, Sukirman, adalah pimpinan PKI Jawa
Tengah. Keduanya ditangkap oleh tentara dari Kodam Diponegoro di Semarang.
Mereka sempat ditahan satu malam di Kodam Diponegoro di mana Kirman mengalami
penyiksaan berat. Pagi harinya mereka dipindahkan ke markas DPKN Surakarta.
Demikian penuturan Maryatun:
... [Dalam] perjalanan dari Semarang ke Solo
— itu saya udah beberapa kali, Mbak, pingsan. Tapi,
ingat [sadar] lagi. Tapi saya tu, suami saya tu, sampe
duaarah tu, tak terhingga loh, Mbak, itu. Karena sehat
sekali suami saya tu juga orangnya juga gemuk, itu sampe di, DPKN Solo, itu
saya sudah sadar lagi, Mbak. Tau-tau, apa, sini
saya tu dah rasanya sudah ndak karu-karuan. Udah saya ditidurkan,
belum sampe satu, sepuluh menit kita tidur, udah dibawa ke ruang pemeriksaan
itu. Jadi setiap di saat setiap, orang yang datang
– menurut dia pesakitan ya, pesakitan datang itu – mesti di-verhoer,
ditanya dulu. ÒPokoknya kamu harus mau menjawab pertanyaanku. Nek ora gelem, kowe thaÕ gebuki (Kalo tidak mau, kamu aku pukuli).Ó
... [Interogator] dari kepolisian DPKN situ, namanya Pak Moertopo kalo ndak
salah itu, Ajun Inspektur itu yang beliau itu. Akhirnya, di sana sudah dengan caci-maki katanya
saya tuh, ÒKowe ki Gerwani. Sebab kowe ra gek biyen Genjer-genjer tho?Ó
(ÒKamu itu Gerwani. Sebab kamu kan dulu [menari dan menyanyi] Genjer-genjer
kan?Ó). ... saya diperiksa, suami saya diperiksa. Kembali lagi, Mbak, karena
ini udah kering, saya heran itu, kuasa Allah itu saya sampe heran, ternyata
semua luka suami saya itu udah kering. Padahal baru satu hari. Akhirnya dicacah
lagi itu. Sama DPKN Solo sini. Kemudian saya disuruh mengakui satu saya, ÒKamu
harus mengakuni nek (mengakui bahwa) kamu itu Gerwani, ikut Genjer-genjer
neng (di) Lubang Buaya.Ó
ÒLha
wong aku Lubang Buaya weruh ae we ora kok.Ó (ÒLah orang aku Lubang Buaya
tahu aja nggak kok.Ó)
...
ÒAnggota Gerwani, entuk bojo PKI sing, duwe senjata asira nggo
mempersenjatai, apa kuwi, rakyate dinggo, apa kuwi, dinggo nyerang pemerintahan.Ó
(Anggota Gerwani, dapat suami PKI yang, punya senjata untuk mempersenjatai, apa
itu, rakyat untuk, apa itu, untuk nyerang pemerintahan.Ó). Gitu. Ternyata, itu
saya ndak mau menjawab, suami saya juga diem, saya juga diem, akhirnya dia itu noto (menata) meja, Mbak. Meja ini, meja, kantor itu, di, susun tiga. Yang
namanya Pak Moertopo itu orangnya itu udah 100 kilo loh, Pak, Mbak, itu. Kira,
tinggi-besar, naik ke atas itu saya suruh tengkurep [di lantai]. Langsung,
jroot, itu sama sepatu jenggel-nya [sepatu
tentara], kraaak, gitu ini, suara, ini apa, tulang saya ulo-ulo (tulang
punggung) itu. Sungguh tuh, Mbak. Saya hanya bisa meng, ÒAduh, Tuhaaan!Ó Gitu
aja. Kan tuduhannya juga orang PKI kan ndak punya, Tuhan itu waktu itu.
Akhirnya saya, pingsan, sudah ndak tahu bagaimana darah mengalir tanpa, yah
begitulah, dari mulut, dari telinga ...akhirnya saya pingsan sampe pagi itu
saya baru [sadar], dikira saya tu udah meninggal ...setelah saya dibawa ke
ruang, sel ...
[1]
Maryatun dan suaminya ditempatkan dalam sel bersama-sama sekitar 15 tapol,
laki dan perempuan, yang seluruhnya dalam keadaan luka parah. Seperti
pengalaman tapol di kamp-kamp penahanan lain, Maryatun juga mengatakan bahwa
satu-satunya obat yang tersedia untuk luka-luka mereka adalah air sumur. Maryatun
dan suaminya bukan orang terakhir yang ditempatkan dalam sel tersebut. Dalam
satu hari itu, jumlah tapol terus bertambah hingga sekitar 30-50 orang. Mereka
harus berhimpitan dalam posisi duduk. Para petugas DPKN menjadikan para tapol
perempuan sebagai sasaran pelecehan seksual verbal:
Setiap saat itu di, ÒWah, Gerwanine enak loh ya
di anu, di, kumpuli, anu lanangan-lanangan.Ó (ÒWah, Gerwani-nya enak loh ya
di anu, di, setubuhi.Ó). Wah,
sudah. Pokoknya suaranya itu sudah sumbang sudah ndak enak didengar, Mbak, itu.
Itu aja, yang kata-kata yang kurang, yah, yang wah, jorok sekali saya ndak bisa
mengatakan. Sampe sekarang itu saya ndak bisa kalo suruh mengatakan seperti
yang dikatakan bapak-bapak kepolisian itu.
[2]
Musdalinah, anggota paduan suara Gita Patria, salah satu organ Pemuda
Rakyat, ditangkap oleh polisi dan pasukan Siaga, diiringi oleh sekelompok
milisi, pada 17 November 1965, tengah malam. Setelah digiring ke sebuah pos
milisi di daerah Tegal Sari, Laweyan, ia dijebloskan ke tahanan DPKN.
Malamnya, belum jam 01.00 WIB, tanggal 17 [November]
itu, datang polisi, Siaga, kalo dari massa saya kurang tahu, saya diambil mau dikoploki (dipukuli). Bapak bilang,
ÒJangan! Itu anak saya!Ó Saya terus digelandang ke depan. Tidak tahunya ada
anak RKP [Regu Kerja Pemuda; organ Pemuda Rakyat], Rudi, yang ikut di tempat
saya, di belakang, itu juga diambil. Jadi yang berbarengan ditangkap dengan
saya adalah Rudi dan Miyati. Kami dibawa ke pos yang sekarang di Tegal Sari
itu. ... Tempat kelompok Islam itu. ... Terus dinaikkan ke jip, kemudian dibawa
ke, apa namanya, polres? Gendengan [DPKN]. Saya di situ jadi bulan-bulanan tho, ditanyai, ÒKamu anggota
Pemuda Rakyat?Ó
ÒYa.Ó
ÒBisa nyanyi Mars Pemuda Rakyat?Ó
ÒBisa.Ó
Saya disuruh nyanyi, ya saya nyanyi.
Nggak tahunya bar (setelah) itu terus dikolo (dicekik), pake tali itu dimasukkan kepala, digeret, diculke,
digeret, diculke (diseret,
dilepaskan, diseret, dilepaskan). Terus genti (ganti) sama arit.
Arit itu dikalungke (dikalungkan).
Ya saya yo (ya) deg-degan tho (kan). Aku engko mati
koyo sing anu bapak (Aku nanti mati seperti yang [dikhawatirkan]
bapak).
[3]
Musdalinah juga menyaksikan tapol lain sudah babak belur akibat penyiksaan.
Terus datang lagi teman dari pimpinan ranting waktu
itu namanya Pak Parlin kalau tidak salah. ÒAduh, Mus, aku koyo ngene (seperti ini), Mus!Ó dia bilang
gitu. ÒLah, ngopo (kenapa) Pak Lin ini?Ó Nggak tahunya sininya
sudah emprok-emprok dikepruk (lebam
dipukuli) sama gagang senjata itu. ...ÒAduh, Mus, ini aku koyo ngene (seperti ini), Mus!Ó ÒNgopo (Kenapa), Pak?Ó
saya ya kayak gitu. ÒKoyo ngene (Kayak
gini),Ó sambil nduduhke (menunjukkan) ini. Ada teman lain lagi yang dijebleske nang
tembok (dihantamkan ke tembok).
Lah aku kan malah semrepet no (ketakutan
kan) lihat kayak gitu
[4]
.
Bukan hanya tapol yang mengalami penyiksaan, tapi juga anak tapol. Dalam
sebuah kasus, salah seorang interogator DPKN bernama Ajun Inspektur Darmo memanfaatkan
kesempatan untuk menginterogasi dan mengintimidasi Maryani, anak perempuan seorang
tapol, di kamp DPKN. Darmo mengancam hendak membuang Maryani dan ayahnya ke
Nusakambangan jika ia menolak diperistri. Maryani tidak punya pilihan lain
selain menurut. Sejak itu Darmo kerap datang ke rumah orang tua Maryani dan memperlakukannya
seolah istri sah. Lima bulan kemudian Darmo menghilang, meninggalkan Maryani dalam
keadaan hamil
[5]
.
PENYIKSAAN DI DALAM TAHANAN
I.
Penahanan sewenang-wenang
II.
Penyiksaan selama proses interogasi (untuk
memaksakan pengakuan)
a. Pemukulan dengan tangan kosong dan dengan alat. b. Tubuh tapol dicacah dengan senjata tajam.
c.
Tapol diperintahkan untuk tengkurap di lantai,
kemudian interrogator menjatuhkan tubuhnya dari atas meja yang ditumpuk tiga
susun ke atas punggung tapol.
d.
Leher
tapol dikalungi dengan tali dan celurit yang kemudian ditarik-ulur
e.
Kepala
tapol dihantamkan ke dinding.
III.
Penyiksaan di luar proses interogasi: pelecehan
seksual verbal terhadap tapol perempuan.
IV.
Intimidasi dan pemaksaan hubungan seksual [Perbudakan
seksual] terhadap anak tapol
V.
Pemberian
jatah hidup (makan dan akomodasi) di bawah standar minimum:
Sumber
Erlijna, Th. J. ÓJurnal
Lokakarya Pemetaan Kekerasan dalam Tragedi 1965 di Solo, 20-26 Juni 2006Ó. Juni
2006
Lingkar Tutur Perempuan.
ÓTabel Tempat, Tindak, dan Pelaku Kekerasan dalam Tragedi 1965Ó. Oktober 2006
Lingkar Tutur Perempuan. ÓNotulensi
Lokakarya III Pemetaan Kekerasan dalam Tragedi 1965 di Solo, Kelompok Diskusi
Ibu-ibuÓ. Solo, 15-16 Oktober 2006.
Wawancara
Maryatun, 19/4/05
Maryani, 17/10/05
|
||