![]() |
||
BALAIKOTA SURAKARTA DAN GEDUNG
DPRD TK. II SURAKARTA
ALAMAT
Jl. Arifin, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo-Surakarta
Sebelah selatan Gereja St. Antonius Purbayan; sebelah utara gedung BI.
FUNGSI BANGUNAN:
Sebelum Tragedi 1965:
Di dalam
kompleks Balaikota Surakarta terdapat sejumlah bangunan. Bangunan
pertama merupakan pendapa (balai
pertemuan) yang menyatu dengan kantor walikota dan ruang
sekretariat. Bangunan kedua adalah gedung
DPRD Tk. II Surakarta yang terletak tepat di belakangnya. Di bagian utara pendapa
masih terdapat bangunan lain yang merupakan ruang perkantoran staf walikota.
Bangunan terakhir ini sesungguhnya milik Gereja St. Antonius Purbayan yang
digunakan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta sejak 1945 (untuk keterangan
tentang penggunaan gedung terakhir sebagai kamp tahanan lih. lembar fakta
Gedung Perkantoran Pemkot Surakarta).
Saat Tragedi 1965:
Pada saat tiba di Solo, 22 Oktober 1965, RPKAD langsung menduduki gedung
Balaikota Surakarta dan mengubahnya menjadi markas. Walikota Surakarta, Oetomo
Ramelan, ditangkap dan ditahan di Markas AURI Panasan; tiga anggota Badan
Pengurus Harian (BPH) Pemkot Surakarta dipecat dan tidak diketahui nasibnya
sampai sekarang; dan 50% pegawai Pemkot Surakarta ditangkap, diberhentikan
secara tidak hormat, dinon-aktifkan, atau pensiunnya dipercepat. Keesokan
harinya, Menteri Dalam Negeri mengangkat Letkol. Th. J. Soemantha (Nrp. 15439)
sebagai pemangku jabatan walikota. Program utama Soemantha adalah Õpembersihan
terhadap orang-orang PKI/Ormas-ormasnya serta para simpatisannyaÕ
[1]
.
Setidaknya sampai 1 Desember 1965, fungsi-fungsi pemerintahan sipil tidak
berjalan. Balaikota lebih tepat disebut sebagai kamp tahanan pusat di mana tapol
dalam jumlah besar ditahan, diinterogasi, disiksa, diseleksi, dan dikirimkan ke
kamp-kamp tahanan lain.
Penguasa militer menggunakan ruang sekretariat Pemkot serta pendopo untuk menahan para tapol. Sementara
ruang belakang gedung difungsikan sebagai ruang interogasi dan penyiksaan. Penguasa
militer mempertontonkan penyiksaan terhadap sejumlah tapol laki-laki kepada
publik halaman depan Balaikota, di mana berdiri sebuah tiang bendera. Jumlah
tapol yang ditahan terus bertambah hingga ruangan Balaikota penuh sesak. Penguasa
militer memindahkan sebagian tapol, seluruhnya laki-laki, ke ruang sidang DPRD
Surakarta yang terletak di bagian belakang (sisi barat) Balaikota, sedang tapol
perempuan ke ruang perkantoran Pemkot. Selang satu bulan, ruangan di gedung DPRD pun tidak sanggup
lagi menampung tahanan-tahanan baru. Sementara itu, penguasa militer menganggap
fungsi-fungsi pemerintahan harus segera dipulihkan. Oleh karena itu, penguasa
militer memindahkan para tapol di gedung DRPD ke gedung milik Kraton Surakarta,
Sasono Mulyo, sedang para tapol perempuan tetap dibiarkan di gedung perkantoran
Pemkot.
Sekitar 1967/1968, di atas tanah kosong di bagian belakang kompleks
Balaikota kemudian dibangun gubuk-gubuk untuk menahan para tapol laki-laki golongan
C yang sudah mendekati masa pembebasan. Diduga jumlah mereka mencapai ratusan
orang. Sesudah Peristiwa 1965 hingga 1980 atau 1990, gedung Balaikota tetap
berfungsi sebagai lokasi wajib lapor bagi para eks-tapol.
Sekarang
Sesudah 1 Desember 1965 sampai saat ini, bangunan-bangunan tersebut kembali
difungsikan sebagai Balaikota. Namun bangunan gedung perkantoran Pamkot dikembalikan
oleh Soemantha kepada pihak Gereja St. Antonius Purbayan sekitar 1968. Saat ini
kompleks Balaikota sudah mengalami perluasan. Gedung-gedung yang berdiri yang
berdiri di atasnya juga sudah mengalami renovasi besar-besaran. Bangunan pendopo pada 1999 sempat dibakar oleh
para pendukung PDIP. Kini di atasnya pemerintah kota kemudian telah mendirikan pendopo baru. Sementara itu, di atas
tanah kosong di mana sempat berdiri gubuk-gubuk bagi para tapol laki golongan C
telah dibangun sebuah gedung berlantai empat.
PENGUASA TEMPAT PENAHANAN
Pada 22 Oktober sampai akhir November 1965, penguasa tahanan Balaikota adalah pasukan RPKAD bersama-sama pemangku walikota, Th. J. Soemantha. Sampai 1968, tahun di waktu mana diperkirakan para tapol perempuan yang ditahan di gedung perkantoran Balaikota dipindahkan ke Kamp Pamardi Karya/Wangkung, penguasa tempat penahanan adalah pemangku walikota, dengan pelaksana militer lokal Solo dibantu Brigade IV/Siaga dan sejumlah kelompok paramiliter.
TAPOL
Berapa jumlah tapol yang ditahan di Balaikota dan Gedung DPRD Surakarta sulit dipastikan karena jumlahnya terus mengalami perubahan, terutama berkait dengan fungsi Balaikota sebagai pusat kamp tahanan dan interogasi. Dengan demikian, pengiriman atau pemindahan tahanan dari Balaikota ke kamp-kamp lain atau, sebaliknya, dari kamp-kamp lain ke Balaikota sangat cepat. Namun berdasarkan kesaksian seorang tapol, perlu berpuluh-puluh truk militer untuk mengosongkan Balaikota dari tapol laki-laki dan memindahkan mereka ke Sasana Mulya pada 1 Desember 1965 [2] .
Diduga kuat penangkapan pertama di Kota Solo terjadi pada 23 Oktober 1965, sehari setelah pembakaran di pusat bisnis di Singosaren dan sekitarnya. Kedatangan RPKAD mendorong dilancarkannya demonstrasi besar-besaran di pusat kota oleh kelompok-kelompok anti-komunis, diantaranya HMI, Pemuda Marhaen, Anshor, GPII dan lain-lain. Massa demonstran yang dikawal RPKAD meneriakkan yel-yel: "Sate Gerwani!", "Ganyang PKI!", "Gantung Aidit!", "Bubarkan PKI!". Mereka kemudian menjarah dan membakar sejumlah bangunan di wilayah Singosaren, Warung Pelem dan sekitarnya. Sasaran utama adalah bangunan-bangunan pertokoan milik warga etnis Tionghoa. Aksi tersebut mendorong warga Ketandan, Jebres, yaitu diantaranya warga wilayah Balong-Sudiroprajan, dengan dipimpin anggota-anggota Pemuda Rakyat melakukan pengamanan untuk mencegah massa demonstran memasuki wilayah perkampungan. Keesokan harinya, anggota-anggota Hanra diiringi militer bersenjata api menangkapi seluruh penduduk usia dewasa, laki-laki maupun perempuan, di wilayah Balong, Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres. Mereka dibawa ke Balaikota dan diseleksi. Sehari kemudian sebagian dari mereka dipulangkan, sementara sisanya ditahan di Balaikota. Sepanjang Minggu keempat Oktober hingga November 1965 terjadi penangkapan massal di berbagai kelurahan. Polanya adalah seluruh warga dewasa, laki-laki saja atau laki-laki dan perempuan, dikumpulkan di sebuah tempat (kelurahan, kecamatan atau pos milisi), oleh organisasi milisi dengan didampingi militer (RPKAD dan atau kesatuan lain), kemudian diseleksi untuk menentukan siapa yang perlu ditahan. Di Kelurahan Joyotakan-Serengan (29 Oktober 1965), Kelurahan Jagalan (November 1965, tanggal tidak diketahui, malam hari) dan Sambeng-Banjarsari (22 November), malam hari), penduduk yang setelah diseleksi dianggap perlu ditahan diangkut dengan truk ke Balaikota [3] .
Suprapto, seorang pegawai Jawatan Gedung-gedung negara Daerah Surakarta sekaligus ketua SBPU (Serikat Buruh Pekerjaan Umum), ditangkap bersama seorang rekannya pada 6 November 1965 di kantor dan dibawa ke Balaikota. Ia menggambarkan prosedur yang harus dilalui para tapol baru Balaikota:
Tiba di Balai Kota pengawal menyerahkan
kami kepada petugas di sekretariat untuk identifikasi. Kepada kami
masing-masing ditanyakan tentang data pribadi, keanggotaan dan kegiatan dalam
organisasi, baik di dalam partai maupun di ormas.
Selesai pencatatan identitas
dan fungsi serta kegiatanku di dalam organisasi, seorang petugas membawa aku ke
tempat penahanan, sebuah ruangan bekas tempat kerja staf pemerintahan
kotamadya. Aku dimasukkan di
kamar bagian depan sebelah kiri komplek gedung Balai Kota. Ketika aku masuk
ternyata ruangan telah penuh kawan-kawan fungsionaris ormas-ormas buruh dan
lainnya. Ruangan itu tidak dilengkapi dengan sesuatu apapun. Juga hamparan
tikar tidak terlihat di atas lantai.
Setelah makan malam, sekitar
pukul 19.00, aku dijemput seorang petugas, yang membawa aku pindah ke ruangan
belakang yang lebih sempit. Tidak ada seorang kawan pun di ruangan ini. Hanya
petugas-petugas berseragam tentara, tapi tanpa tanda pengenal apa pun. Ada
sebuah meja panjang, di tengah ruangan, dengan sebuah kursi di sisi yang satu
dan tiga kursi di sisinya yang lain. Diterangi lampu yang bersinar samar-samar,
suasana petang menjadi terasa tidak menyenangkan. Dadaku sejurus terkesiap
berdebar. Aku diperintahkan tidur telungkup di atas meja panjang, mereka
meninggalkan ruangan dan kudengar bunyi pintu dikunci. Dentang lonceng di
kejauhan terdengar berbunyi sepuluh kali. Jam sepuluh! Pikirku.
Mereka, entah berapa orang,
masuk ke ruangan, aku dibangunkan dan diperintahkan duduk berhadapan dengan
mereka bertiga. Interogasi dimulai. Sesudah mengisi beberapa lembar daftar
pertanyaan, mereka mulai menghujani pertanyaan
[4]
.
Kutipan di atas dan cerita tapol-tapol lain yang sempat ditahan di
Balaikota (bahwa ada proses seleksi atas orang-orang yang ditangkap) mengesankan
seolah penguasa militer sudah menyiapkan sebuah prosedur yang jelas dan
sistematis, yang menjamin hak hukum setiap orang yang ditangkap. Namun
sesungguhnya satu-satunya jaminan yang disediakan penguasa militer adalah bahwa
semua yang ditangkap pasti bersalah. Proses seleksi maupun interogasi tidak
ditujukan untuk mengetahui apakah seseorang bersalah atau tidak, tapi untuk,
meminjam istilah Hersri Setiawan, memaksakan pengakuan atau pengiayan. Demikian
Suprapto:
Karena itu hampir setiap patah kalimat pertanyaan
berupa bentakan, yang sering disertai dengan gebrakan meja dan penyiksaan.
Perut dan dadaku menjadi sasaran tinju mereka itu. Salah seorang yang
bercincin, dengan permata batu-akik sebesar empujari, menghujankan tinjunya ke
mukaku
[5]
.
Dari kajian atas seluruh cerita tapol tidak ada standar yang jelas mengapa
seorang tangkapan lolos seleksi dan dipulangkan, sedang yang lain tetap
ditahan. Jarang sekali tapol yang sudah diinterogasi dinyatakan tidak bersalah.
Ini belum lagi memperhitungkan prosedur penangkapan. Suratmin [nama samaran
apa?] yang ditangkap bersama empat rekannya dan dibawa ke Balaikota pada 29
Oktober 1965 mencatat dalam bahasa orang ketiga: Turun dari truk [di Balaikota],
mereka dipukuli. Tindak pemukulan merupakan penegasan bahwa Suratmin dan
rekan-rekan bersalah, namun malam itu juga di Balaikota Suratmin dibebaskan. Dengan
demikian ia adalah kasus salah tangkap. Tapi ternyata tidak juga karena pada 5
November tengah malam ia ditahan kembali di tempat yang sama di mana ia pernah diseleksi
dan dinyatakan tidak bersalah
[6]
. Hal serupa dialami pula oleh banyak
tapol lain. Tidak jelas apa ukuran bersalah dan tidak bersalah.
Tapol yang menjadi momok bagi penguasa militer di Balaikota adalah Sukarno
atau lebih dikenal sebagai Karno Gejig. Kakinya pendek sebelah akibat polio.
Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, diketahui bahwa ia adalah seorang
preman sekaligus penjaga karcis bioskop asal Purwodingratan-Jebres yang
bersimpati terhadap Pemuda Rakyat. Diduga Karno Gejig dan kelompoknya sempat
melakukan aksi pembalasan terhadap sejumlah demonstran yang – dengan
mengkambinghitamkan Pemuda Rakyat --membakari wilayah bisnis Solo pada 22
November. Aksi pembalasan yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Kedung Kopi itu
berujung pada kematian sejumlah pemuda
[7]
.
Diduga karena aksinya tersebut, tentara RPKAD merasa perlu memberi pelajaran dengan
menyiksa Karno Gejig, Surono, dan Sampir, di hadapan publik. Hampir setiap tapol
laki-laki, terutama yang sempat ditahan di Balaikota, mengingat penyiksaan
terhadap Karno Gejig, Suprapto salah satunya:
Sekitar tengah malam aku
dibawa keluar ruangan [interogasi], dan dimasukkan ke kamar tempat penahanan
yang lain lagi. Tidak ada kawan tahanan lain di sini, kecuali seorang kawan
yang belakangan kukenal sebagai Bung Karno Gejig. ...Sepanjang siang dan malam
terkadang petugas datang menyiksa Gejig. Membenturkan kepalanya berkali-kali di
tembok, menendangi dan menginjak-injak tubuhnya. Wajahnya bengkak biru memar di
sana-sini, matanya merah darah. Di tengah-tengah tidurnya sering ia terdengar
merintih. Aku sendiri, yang hanya mendengar suara rintihannya, serasa tak mampu
menahan rasa sakit yang dialaminya. Pagi hari ia dikeluarkan dari kamar,
ternyata bukan untuk dijemur. Karno Gejig diikat di tiang bendera di halaman
depan Balai Kota, dan tubuhnya dihujani cambukan dengan rantai sepeda motor.
...
Suatu ketika, ketika ia
disiksa di halaman Balai Kota, istrinya sengaja dipanggil untuk menyaksikan.
Penyiksaan terhadapnya memang luar biasa. Serdadu-serdadu ÓBaret MerahÓ
beramai-ramai memukuli, menginjak-injak, dan mencambukinya dengan kopelrim.
Anehnya ia seolah-olah tidak merasakan penyiksaan itu. Kabar burung mengatakan,
ia mempunyai ajimat berupa benda sebesar ibujari yang dibungkus secarik kain
putih, dan selalu dibawanya barang ke mana saja ia pergi
[8]
.
Menurut penuturan sejumlah korban, Karno Gejig, Sampir, Surono dan sejumlah
tapol yang dituduh anggota Pemuda Rakyat juga disiksa dengan cara dipaksa tidur
telentang di halaman Balaikota dengan mata menatap matahari mulai pukul 08.00
hingga 10.00 selama beberapa hari (istilah tapol: ÕdijemurÕ) serta dipukuli dengan
kayu mlanding atau kawat berduri. Karno
Gejig bukannya kebal terhadap siksaan karena, seperti dikatakan Suprapto
sendiri, ia sering merintih di tengah tidurnya. Agaknya jika dalam keadaan
sadar ia punya kontrol diri luar biasa – hasil dari pengalamannya sebagai
preman – untuk tidak mengeluh kesakitan, terutama di depan para
penyiksanya. Tidak diketahui kapan tepatnya Karno Gejig, Sampir dan Surono
dihilangkan paksa. Seorang korban yang ditahan pada 5 Desember 1965 dan
kemudian sempat ditahan di Balaikota menuturkan bahwa ia mengalami ÕdijemurÕ
bersama Karno Gejig.
Penguasa Balaikota melakukan berbagai metode penyiksaan untuk melemahkan
fisik dan mental tapol. Metode ÕdijemurÕ dan dipertontonkan pada publik juga
diberlakukan terhadap para tapol lain (yang diduga) anggota Pemuda Rakyat. Selama
dijemur mereka dipukuli, baik dengan kayu ÕmlandingÕ polos maupun dengan kayu
ÕmlandingÕ yang diberi paku dan dipukulkan ke bagian punggung. Metode
penyiksaan lain adalah tapol digantung dengan kepala di bawah, kedua ibu jari
kaki ditekan dengan meja, tidak diberi makan dan minum selama proses interogasi
yang bisa berlangsung berjam-jam. Kadang kala penyiksaan dilakukan untuk memaksakan pengakuan. Kali lain
sekedar sebagai hukuman. Metode lain yang juga umum diterapkan di seluruh kamp
tahanan adalah dengan menyediakan fasilitas makan, kesehatan dan akomodasi
seminimal mungkin, sekedar agar tapol bertahan hidup untuk diinterogasi,
disiksa atau dipekerjakan paksa.
Antara 1967-1968, tapol laki-laki golongan C yang sudah mendekati masa
pembebasan ditempatkan kembali di Balaikota, tepatnya di gubuk-gubuk yang
dibangun di tanah kosong di bagian belakang kompleks Balaikota. Sekitar Juni 1966,
sekitar 300an tapol dari Balaikota ini mulai dipekerjakan paksa di
Klego-Boyolali untuk membangun tanggul waduk untuk pengairan daerah Cepresan,
Ngandong, dan Kacangan. Tapol bekerja mulai 07.00-11.00 WIB dan dilanjutkan
pada 15.00 - 18.00 WIB. Tapol hanya dibekali beras dua ons/hari dan uang
lauk-pauk dalam jumlah kecil. Pekerjaan ini berlangsung selama kurang-lebih 11
bulan. Setelah pekerjaan selesai tapol dikembalikan ke Balaikota dan kemudian
dibebaskan secara bergelombang
[9]
.
TINDAK PELANGGARAN HAM
I.
Penahanan sewenang-wenang
II.
Penyiksaan dalam proses interogasi (bertujuan untuk memaksakan pengakuan):
III.
Penyiksaan di luar proses interogasi:
IV.
Pemberian jatah hidup (makan dan akomodasi)
di bawah standar minimum:
V.
Penghilangan paksa:
VI.
Dipekerjakan paksa
Tapol dipekerjakan paksa untuk membangun waduk di Boyolali tujuh jam per hari selama 11 bulan, dengan hanya diberi beras 2 ons/hari dan uang lauk-pauk.
Sumber
Erlijna, Th. J. ÒJurnal Lokakarya Pemetaan Kekerasan dalam Tragedi 1965 di Solo, 20-26 Juni 2006Ó. Juni 2006 Lingkar Tutur Perempuan. ÒKronik
Tragedi 1965 di Solo 3Ó. Solo, 15-16 Oktober 2006
Lingkar Tutur Perempuan. ÒLaporan Lokakarya Pemetaan Kekerasan dalam Tragedi 1965 di Solo, 25 Juni 2006Ó. Juni 2006 Lingkar Tutur Perempuan.
ÒTabel Kronik 1965 di Solo 3Ó. Solo, 15-16 Oktober 2006.
Mulyadi, M. Hari,
Soedarmono, et al. Runtuhnya Kekuasaan
ÒKraton AlitÓ: Studi Radikalisasi Sosial ÒWong SalaÓ dan Kerusuhan Mei 1998 di
Surakarta (Sala: Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan, 1999)
Pakorba Solo. Ò5 Kronik Tragedi 1965 di SoloÓ. Solo, Agustus 2006.
Setiawan, Hersri. Kidung untuk Korban (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar kerja sama dengan Pakorba-Solo dan YSIK, Juli 2006)
Wawancara:
Mulyadi, Solo, 9/5/06
Pangudi, Solo, 15/10/03
Jumtari Wiyono, Solo, 24/8/07
|
||
[1]
Pengangkatan
berdasarkan SK Mendagri No. UP 47/3/20-1534 Tanggal 23 Oktober 1965. Pangdam
Diponegoro mengukuhkan pengangkatan Th. J. Soemantha melalui Surat Perintah No.
PRIN-853/10/1965 Tanggal 25 Oktober 1965. Pangdam menyatakan pengangkatan itu
sebagai Ôtugas kekaryaan TNI ADÕ. Lih. M. Hari Mulyadi, Soedarmono, et al., Runtuhnya Kekuasaan ÒKraton AlitÓ: Studi
Radikalisasi Sosial ÒWong SalaÓ dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta (Sala:
Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan, 1999), hal. 97.
[2]
Hersri Setiawan, Kidung untuk Korban, Dari Tutur Sepuluh Narasumber Eks-Tapol Sala, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar kerja sama dengan Pakorba-Solo dan YSIK, Juli 2006), hal. 184.
[3]
LTP, ÒKronik Tragedi 1965 di Solo 3Ó,
15-16 Oktober 2006, hal. 3-4; LTP, ÒTabel Kronik 1965 di Solo 3Ó, 15-16 Oktober
2006.
[4]
Hersri Setiawan, Kidung untuk Korban,
Dari Tutur Sepuluh Narasumber Eks-Tapol Sala (Sala: Pustaka Pelajar
kerjasama dengan Pakorba-Sala dan YSIK, Juli 2006), hal. 178-179.
[5]
Hersri Setiawan, ibid. (Sala:
Pustaka Pelajar kerjasama dengan Pakorba-Sala dan YSIK, Juli 2006), hal. 179.
[6]
Pakorba Solo, Ò5 Kronik Tragedi 65 di SoloÓ, Solo, Agustus 2006; LTP,
ÒTabel Kronik 1965 di Solo 3Ó, 15-16 Oktober 2006.
[7]
Koran terbitan Surakarta
mengatakan korban dari Pemuda Marhaen, tapi Jumtari Wiyono, seorang anggota
Aisyiyah Surakarta yang diwawancarai, mengatakan korbannya adalah pemuda dari
kelompok Islam.
[8]
LTP, ÒTabel Kronik 1965 Solo 3Ó, Solo, 15-16 Oktober 2006; Pakorba Solo, Ò5
Kronik Tragedi 1965 di SoloÓ, Solo, Agustus 2006; Wawancara Pangudi, Solo,
15/10/03.
[9]
LTP, ÒTabel Kronik Tragedi 1965 Solo 3Ó, Solo, 15-16 Oktober 2006; Pakorba
Solo, Ò5 Kronik Tragedi 1965 di SoloÓ, Solo, Agustus 2006.
|