![]() |
||
MARKAS POLISI MILITER
DAERAH MILITER IV DIPONEGORO DETASEMEN IV/4 – SURAKARTA
ALAMAT
Jl. Arifin, Kecamatan Pasar Kliwon,
Surakarta
FUNGSI BANGUNAN
Sebelum Peristiwa 1965
Markas Polisi Militer Daerah Militer IV
Diponegoro Detasemen IV/4 Surakarta (Markas CPM Surakarta)
Saat Peristiwa 1965
Pada Oktober 1965 hingga setidaknya Mei
1968, markas CPM Surakarta menjadi kantor Teperca (Tim Pemeriksa Cabang)
Surakarta, sekaligus tempat penahanan dan interogasi para tapol asal Surakarta dan Klaten.
Sekarang
Markas Polisi Militer Daerah Militer IV
Diponegoro Detasemen IV/4 Surakarta (Markas CPM Surakarta)
PENGUASA TEMPAT PENAHANAN
Penguasa Markas CPM sebagai tempat
penahanan dan interogasi tapol 1965 adalah Teperca Surakarta. Teperca Surakarta
merupakan institusi di bawah Teperda (Tim Pemeriksa Daerah) Jawa Tengah yang berkedudukan di Semarang,
yang bertanggung jawab terhadap Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu). Teperca berkuasa
menangkap seseorang di dalam wilayah kekuasaannya yang dicurigai terlibat dalam
G-30-S atau aktif dalam organisasi-organisasi kiri/komunis dan menahannya
– seringkali tanpa disertai surat penangkapan dan penahanan; melakukan
interogasi – yang hakekatnya adalah pemaksaan pengakuan disertai
penyiksaan; dan memutuskan tindakan penyelesaian pada tapol – yang kerap
kali mencakup eksekusi sewenang-wenang dan penghilangan paksa. Dengan kata
lain, Teperca Surakarta punya kewenangan penuh atas nasib para tapol. Dalam
melaksanakan kekuasaannya, Teperca Surakarta dibantu oleh Timperban (Tim
Pemeriksa Pembantu).
Sekitar paruh
awal 1966, komandan Teperca Surakarta adalah Letda Agus dari Detasemen Pomad
Surakarta
[1]
.
Jabatan itu beralih kepada Letda Sugito (CPM) pada Maret 1967
[2]
.
Agaknya jabatan itu sudah beralih ke tangan Lettu (CPM) Abu Sukiyan pada Mei 1968
[3]
.
TAPOL
Markas CPM menjadi kamp tahanan sekaligus
interogasi bagi para tapol. Sejumlah tapol di-bon (bon: pinjam; dibon: dipinjam) dari
tempat penahanan lain, misalnya dari Balaikota Surakarta, untuk diinterogasi di
tempat itu.
Ibu Maryatun – nama samaran, anggota
Lekra – ditangkap bersama-sama suaminya, anggota CDB PKI Jawa Tengah, di
Semarang pada akhir 1965 oleh pasukan Kodam VII/Diponegoro. Keduanya
dipindahkan dari markas Kodam VII
ke markas DPKN Surakarta keesokan harinya. Setelah diinterogasi dan disiksa di
DPKN Surakarta, Ibu Maryatun dikirim ke markas CPM Surakarta, sementara
suaminya dikirim ke markas AURI. Ia menceritakan tapol-tapol yang ditahan
bersamanya di dalam satu ruangan di tempat itu:
Jadi yang di CPM
itu semua yang lelaki itu dari angkatan darat semua. Sipilnya, ibu-ibu. Ya dari
guru ada ya dari, sudahlah, macem-macem orang sudah, buaanyak sekali kalo ndak
salah 50 itu kalo ndak salah. Sampe, berjejal. 50 itu satu kamar saya ini loh,
Mbak. Jadi tidurnya sama duduk
[4]
.
Markas CPM Surakarta kemudian juga
digunakan untuk menahan para tapol sipil laki-laki.
Ibu Sarbinatun dalam Hersri Setiawan
(2006) menceritakan:
Selama kira-kira
lima bulan saya di dalam tahanan CPM, tahanan-tahanan baru laki-laki dan
perempuan masih terus berdatangan. Termasuk banyak tahanan dari Klaten, dan
salah seorang di antara mereka juga Dik Katri
[5]
.
Jumlah tapol yang ditahan di dalam Markas
CPM Surakarta terus berubah akibat operasi penangkapan baru, pemindahan tapol
ke tempat penahanan lain, atau akibat penghilangan paksa. Markas CPM Surakarta
baru dikosongkan dari tapol 65 pada akhir Mei 1968
[6]
.
Seorang tapol asal Solo mengatakan bahwa
para tahanan seluruhnya ditempatkan dalam satu ruangan yang terletak di
belakang gedung induk. Sumidi – pengusaha batik asal Sukaharja, donatur
tetap PKI yang saat terjadi Peristiwa 1965 mendirikan Komite 99 untuk
menyelamatkan kader-kader PKI yang nyawanya terancam oleh operasi militer --
menceritakan:
Bulan Oktober 1967,
hari bulan saya sudah lupa. Saya dimasukkan di sebuah ruangan, di belakang
kantor piket. Di sini saya kembali bertemu dengan kawan-kawan lama, antara lain
Pak Sudargo, pengusaha swasta kelistrikan Wilis, yang rumahnya menjadi tempat
persembunyian Ketua CC PKI DN Aidit, sebelum ia ditangkap Yasir Hadibroto;
kemudian Pak Masto, eks-anggota BPRI (Barisan Pemberontak RI) di masa perang
kemerdekaan, yang belakangan—sampai Peristiwa G30S pecah–Ketua
Partindo (Partai Indonesia) Solo; dan Pak Budiharja, mantan Direktur Pabrik
Gula Madja di Sragen. Pendek kata mereka adalah orang-orang penting dan
terpandang pada masa itu
[7]
.
Setiap tapol, juga yang ditahan di Markas
CPM Surakarta, tidak terbebas dari penyiksaan. Penyiksaan bisa terjadi selama
proses interogasi dengan tujuan untuk memaksa pengakuan, maupun di luar proses
interogasi. Di dalam Markas CPM Surakarta, Teperca melakukan interogasi yang
disertai penyiksaan terhadap para tapol di lantai dua gedung induk. Sunarti
– pimpinan ranting Gerwani yang bersuamikan anggota DPRD Tk. II Surakarta
dari F-PKI – menceritakan penyiksaan yang ia alami dalam proses
interogasi:
[Saya] Dibon ke CPM itu saya
dipukuli sama, anu. Ah kaki
meja itu lebih besar lagi, terus kaki saya diidak-idak (diinjak-injak)
sama sepatu orang-orang CPM.
ÒLha, saya suruh bilang apa, Pak, kalau
saya nggak tahu?Ó saya bilang gitu ÒDi dalam organisasimu itu ada apa,
persiapan-persiapan apa? Kamu diajari,Ó anu, senjata itu lho.
ÒAku nggak pernah pegang, jangankan yang
namanya pistol bedil dan sebagainya itu. Ha, saya paling itu piso (pisau) dapur itu, kalau saya masak. Kalau ndak masak ya ndak, wong (orang)
saya sebagai guru, pegang saya kapur,Ó saya cuma bilang gitu.
ÒYa sudah kalau saya memang terpaksa harus
begini terserah Bapak,Ó saya bilang begitu.
Tapi dia nekat dengan itu. É Karena saya
duduk, tho. Lha, duduk dan berdiri sambil injak-injak itu, ngidak-idak (nginjak-nginjak) kaki saya. Terus sambil mukuli ini, paha-paha saya ini,
terus tangan. Tangannya suruh meletakkan di meja terus
dipukuli
[8]
.
Maryatun mengalami proses interogasi
berulang-ulang di Markas CPM Surakarta. Ia dipaksa mengaku sebagai anggota
Gerwani – walau sebenarnya ia anggota Lekra – dan turut menyiksa
para perwira AD di Lubang Buaya – padahal sampai saat Peristiwa Lubang
Buaya terjadi ia belum pernah sekalipun ke Jakarta. Demikian ceritanya:
Ya, paginya. Saya ki (ni) waktu tanggal, tanggal-bulannya udah saya ndak, ndak, bisa, Mbak, ndak
bisa mengingat ya? Akhirnya saya dibawa ke CPM, kemudian saya menunggu, ÒKok
suami saya ndak ada?Ó Saya diperiksa lagi. Diperiksa, yang mana saya tetep
harus ngakoni (mengakui) Gerwani.
ÒSekarang saya tu,
Pak, saya ngaku dan tidak itu, apa tidak berdaya, pasti Bapak, apa itu,
menyiksa saya lagi. Silakan. Tulis apa adanya.Ó
Jadi saya sampe
ini, Mbak, sampe nggak akan membela diri, ndak.
ÒWis, sudah,
Bapak lakonane (lakukan saja) sudah. Pokoknya saya tidak akan menolak
apa yang Bapak katakan. Tulis!Ó
Ternyata di situ,
saya sudah selesai tanda tanya, tanda tangan berarti udah selesai, pemeriksaan
saya. É Di CPM ya lima bulan. Lima bulan itu ya kalo ada, apa, kabar dari
suami, saya katanya suami saya tu orang apa, PKI, menyimpan senjata, ada
anak-anak buah itu yang suka ngomong, saya dipanggil lagi, ÒApa bener ndak?Ó
Wah, ke ____, kenut (pecut) semua lagi, kenuti (pecuti) lagi.
Iya, Mbak, kenut lagi. ÉAkhirnya, saya karena disetrum itu saya harus
mengakui bahwa saya itu, seorang Gerwani yang mana saya tu Genjer-genjer ke,
Lubang Buaya, kemudian nyileti dan sebagainya ini saya mempertahankan itu.
ÒTidak. Saya bukannya Gerwani. Kalo saya Lekra saya akui, Pak, sesuai
dengan apa yang udah di, tertera di dalam, pemeriksaan Bapak. Saya bukannya
Gerwani,Ó saya bilang gitu. ÒMeskipun itu Gerwani itu juga organisasi dari
kepartaian itu, kan itu partai PKI tapi saya bukannya Gerwani.Ó
Akhirnya, saya tidak mau. Diam, baju langsung, Mbak, dilepas. Udah. Lepas
sudah, udah [menangis], waaah, haaah, sudah saya ndak bisa apa saya mau melawan
apa juga ndak bisa, akhirnya dia ambil setrum. Setrum semua itu wah sudah,
Mbak, rasanya udah dah bayangkan. Akhirnya saya udah lemas, udah mau ndak
bernyawa mungkin, baru dilepas. Ternyata dalam pemeriksaan saya tetep saya
Gerwani. Sampe pelepasan yang saya terima, dari, dari Pangkopkamtib waktu itu
Yoga Soegama, itu tanda tangannya sampe sekarang itu masih saya simpan rapi
[9]
.
Selain pemukulan dan penyetruman, bentuk
penyiksaan lain terhadap para tapol perempuan adalah penggundulan kepala. Ini
dialami oleh seorang tapol perempuan dari Klaten
[10]
.
Penguasa tempat penahanan tidak
segan-segan menyiksa anak-anak. Seorang anak petani asal Klaten berusia remaja
bernama Jirah – masih duduk di bangku SD – ditangkap hanya karena
bernama sama dengan seorang pimpinan lokal Gerwani yang sedang diburu. Tim
pemeriksa memaksa Jirah mengaku sebagai pimpinan Gerwani dan menyiksanya. Jirah
yang tidak tahan menghadapi siksaan akhirnya mencoba bunuh diri. Demikian
cerita Maryatun:
itu dari CPM, CPM itu ada É namanya Jirah itu yang terakhir. Itu
orangnya gueemuk, Mbak. Itu anak ndak tahu apa-apa itu anak itu. Dibawa. Karena
hanya, salah, salah namanya itu, sama gitu. Akhirnya anak itu loncat. Loncat
dari, loteng, CPM itu, Mbak, padahal ini pagar ruji (jeruji)! Ha
Tuhan itu kalo mau memberi hidup, hambanya itu nggak kurang, nggak kurang apa
ya, nggak kurang suata [suatu] apa ya, bisa selamat. Itu nancep itu, nyepit [terjepit),
Bu! Nyepit di antara ruji-ruji itu loh, ruji pagar. Itu
di CPM sampe sekarang kan belum dirubah, masih ruji gini. Itu nyepit, Jirah
itu. Akhirnya dia stress, Mbak, stress berat. Udah nggak bisa, ah eneng (ada), mintanya
udah nangis sama eh, akhirnya dibawa ke [kamp] Wangkung. ...[Jirah] Anak
seorang petani juga tapi dari Ciro. ...Disiksa itu, Bu! Disiksa akhirnya ndak
kuat dia loncat gitu loh, Mbak. Loncat ke itu akhirnya nancep di sela-sela itu.
Disiksa itu juga disetrum itu anak itu. ... begitu sembuh, hanya ada Mbak Marti
ya semua tanya, ÒKowe maune dikapake, kok ngantek (Kamu tadinya
diapakan, kok sampe) ÉÓ
ÒWong aku digebuki, kon ngaku jenenge Jirah, aku
pimpinan. Lah aku pimpinan opo wong aku sekolah, lagek SD.Ó (ÒOrang aku dipukuli,
suruh ngaku namanya Jirah aku pimpinan. Lah aku pimpinan apa orang aku sekolah,
masih SD.Ó)
[11]
Bentuk penyiksaan di luar proses
interogasi diantaranya adalah kerja paksa. Demikian cerita Suseno – guru
sebuah sekolah teknik di Solo yang ditangkap untuk kedua kali pada 1967 dan
ditahan di Markas CPM, hanya 17 hari setelah dibebaskan dari penahanan
pertama:
Pada
saat itu belum ada pemeriksaan, tidak ada pemeriksaan, hanya terus dikeluarkan
begitu saja. Ha, setelah di rumah kira-kira 17 hari, saya tidak diterima oleh
ketua RT-nya, di kampung saya itu. 17 hari di rumah, saya masuk lagi ke Kamp
CPM, di Solo. ÉKalau di CPM sudah tidak mendapatkan siksaan, hanya kerja Éya
sifatnya disuruh kerja setiap hari di situ. ÉPada saat itu mungkin dari petugas
itu tahu bahwa saya itu seorang teknik, sehingga pertama saya dipekerjakan di
kendaraan, untuk membersihkan mobil, untuk memperbaiki mobil dan lain
sebagainya. Tapi, setelah mereka itu tahu bahwa saya itu juga bisa menukang,
itu sering ditugaskan untuk di dapur untuk memperbaiki dandang [tempat menanak nasi] dan lain sebagainya alat-alat dapur
di situ. É Ya kurang lebih dua tahun lebih lah, jadi jumlahnya kira-kira tiga
tahun lah
[12]
.
Teperca Surakarta juga bertanggung jawab
atas penghilangan paksa – dan mungkin eksekusi sewenang-wenang –
terhadap empat tapol perempuan: Kustinah Sunaryo, Kayati, Partinah, Kayati, Ibu
Harun Al-Rasjid
[13]
. Sunarti
mengetahui hal itu dari seorang AURI yang menjadi interogatornya di Balaikota:
Terus malam hari lagi, ada teman saya empat
wanita, sudah dibon itu ndak pulang. Saya untung ada yang memberi tahu,
penjaganya itu ada yang baik.
ÒBu, maaf ya, Bu. Empat ibu tadi yang
sudah dibon tadi sudah tidak pulang. Karena mereka dibawa pergi, ya
kalau orang bilang, katanya sudah digame (dibunuh), gitu,Ó di-game-kan
gitu istilahnya dulu.
ÒLa, digamekan itu apa?Ó
ÒDibunuh,Ó gitu. Oh, saya baru tahu itu
kalau di-game itu dibunuh, itu
[14]
.
Kemungkinan bahwa keempat perempuan
tersebut telah dieksekusi sewenang-wenang juga dikuatkan oleh kesaksian
Maryatun yang suaminya, Sukirman, juga dibunuh saat berstatus tahanan di Markas
CPM Surakarta:
Lah, ya terakhir itu ya di CPM, saya dipindah ke CPM, bakdo (lebaran),
itu dipin, ya, di CPM ba, saya di CPM setelah disetrum itu loh, Mbak, saya
dibawa ke, ke ini, ke Balaikota, bapak [suami: Sukirman] ma, katanya masih di
CPM, itu hari, Seloso Kliwon bapak [orang tua laki]
dipanggil ke CPM hanya suruh mengambil baju yang sudah berlumuran darah penuh,
sama celana, sama sarung. Bapak [orang tua laki] dipesen sama, CPM-nya, tim
pemeriksanya, ÒPak, kamu jangan ngarep-arep mulihe
(mengharap-harap pulangnya) Sukirman. Mulihe Sukirman wis mati.
Ngomongo karo bojone nang Balaikota (Pulangnya Sukirman sudah dalam keadaan mati.
Bilang sama istrinya di [kamp] Balaikota). Baju ini kasihkan kepada istrinya.Ó
Itu saya sudah, sudah menerima ini, Bu, sudah menerima, apa itu,
menerima, permandian. Belum, belum, belum [menerima sakramen] penguatan saya
waktu menerima baju suami saya itu [menangis]. Akhirnya, dibawa sama, bapak.
ÉBapak saya sendiri. ÉIya bapak dateng ke CPM tapi beliau kan ndak berani.
Waktu itu apa yang diomong dari, dari pemerintah setempat dan sebagainya kan
udah ndak berani ingkar, Bu, harus itu mesti dilaksanakan, Mbak. Akhirnya
dibawa, dikasihkan tau saya, saya langsung, pingsan waktu itu [menangis]. Udah,
ndak tahu, bapak udah ndak _____ bawa pulang ternyata baju semua itu udah
dipulang, ÒLoh ki, klambine bojomu, bojomu wis ra enek (Loh ni,
bajunya suamimu, suaminya sudah nggak ada).Ó Bapak ya orang, orangnya kuno apa adanya udah. ÒUdah
meninggal kamu nggak usah ngarep-arep (mengharapkan) suamimu.Ó Itu saya udah, gimana ya, Bu, padahal saya juga baru temanten (pengantin), temanten baru, meskipun temanten baru bapak yang,
yang ini, yang, menjodohkan tapi kan, selama saya, dari Semarang ke sini kan
sudah ada kenangan. Mintanya kan, meskipun bagaimana kan minta hidup suami
saya. Ternyata suami saya berbarengan dengan, Bu Naryo [Kustinah Sunaryo], Bu,
Bu Kayati, Bu Harun [Ibu Harun Al-Rasjid], yang satu, empat kok, Bu, itu yang
satu berapa siapa ya? Bu Kus Naryo, Bu, Mbak Hayati, Bu Harun, satunya siapa
itu suami saya katanya. ÉIya dibawa, ndak tahu. Tau-tau saya udah dapet baju
yang penuh darah itu. ÉDi-bon dari CPM. ÉNdak ada yang tahu, sampe
sekarang. Tapi saya masih mengingat, Bu. Pokoknya, sampe pemulangan Buru
terakhir itu saya masih menunggu suami saya
[15]
.
Teperca Surakarta atau penguasa militer
secara umum pada saat itu tidak pernah memberitahukan tentang keberadaan dan
situasi-kondisi para tapol pada keluarga secara resmi. Hal ini menyebabkan kerabat para tapol selalu
berada dalam situasi cemas dan takut.
Teperca Surakarta tidak menyediakan
layanan kesehatan maupun obat-obatan untuk para tapol yang luka akibat
penyiksaan atau yang sakit. Para tapol yang mengalami luka-luka atau sakit
dirawat oleh rekan-rekannya sesama tapol tanpa obat apapun. Sejumlah tapol
menceritakan bahwa luka-luka mereka sembuh setelah dimandikan oleh sesama tapol
atau setelah diminumkan air putih. Mereka menganggapnya sebagai keajaiban. Teperca
Surakarta juga begitu saja menyerahkan perawatan Jirah yang mengalami hilang
ingatan pada para tapol. Selama tiga bulan Ibu Maryatun dan para tapol
perempuan lain melayani kebutuhan harian Jirah, termasuk memandikannya, hingga
ia sembuh.
TINDAK PELANGGARAN HAM
I.
Penahanan sewenang-wenang
II.
Penyiksaan dalam proses interogasi (untuk
memaksakan pengakuan/memaksa tapol menandatangani BAP):
III.
Penyiksaan di luar proses interogasi:
Kerja paksa terhadap setidaknya seorang tapol
laki-laki
IV.
Penghilangan paksa dan/atau kemungkinan
eksekusi kilat:
a.
Sukirman,
staf PKI Comite Daerah Besar Jawa Tengah sekitar akhir Desember 1965.
b.
Kustinah
Sunaryo (biasa dipanggil Kus
Naryo, adalah warga Kelurahan Jagalan, wilayah Kecamatan Laweyan. Ia sempat
menjadi pimpinan Pemuda Putri Indonesia Solo pada masa revolusi kemerdekaan,
ketua Gerwani cabang Surakarta dan kemudian terpilih sebagai anggota DPRD Tk. II
Surakarta dari F-PKI. Kus Naryo juga bekerja sebagai kepala sekolah sekaligus
kepala yayasan sebuah sekolah kejuruan. Suaminya, Sunaryo, adalah wartawan
Harian Rakjat yang sempat ditahan di LP Surakarta dan hilang pada waktu yang
hampir bersamaan)
c.
Kayati (juru tulis Pemuda Rakyat
Kota Solo dan guru TK Melati di Jagalan. Ia tinggal di Kelurahan Jagalan,
bagian Kecamatan Jebres)
d.
Partinah (salah satu pimpinan SOBSI)
e.
Ibu Harun
Al-Rasjid (sempat menjadi pimpinan
Gerwani anak cabang Pasar Kliwon, kemudian ketua DPC Gerwani Surakarta.
Suaminya adalah anggota pengawal Walikota Oetomo Ramelan. Ia warga Kelurahan
Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon).
(cat. Keterangan tentang penghilangan
paksa terhadap empat perempuan tersebut lih. juga Lembar Fakta Gedung
Perkantoran Pemkot Surakarta)
V.
Pemberian jatah hidup (makan dan
akomodasi) di bawah standar minimum:
Sumber
Erlijna, Th. J. ÓJurnal Lokakarya Pemetaan Kekerasan dalam Tragedi 1965 di
Solo, 20-26 Juni 2006Ó. Juni
2006
Lingkar Tutur Perempuan. ÓLaporan Tutur Perempuan dan OHP Perempuan 1965 di
Solo, 11-22 April 2005Ó. April
2005
Lingkar Tutur Perempuan. ÓNotulensi Tutur Perempuan Solo, 17-18 April
2005Ó. April 2005
Setiawan, Hersri. Kidung Para Korban,
Dari Tutur Sepuluh Narasumber Eks-Tapol (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
bekerja sama dengan Pakorba-Solo dan YSIK, Juli 2006)
Wawancara
Joko, Solo, ....
Legiman, Solo, 13/12/03
Maryatun, Solo, 19/4/05
Sunarti, Solo, 19/7/00
Suseno, Solo, É
Sutarni, Jakarta, 9/3/09
Cek juga wawancara anak Kus Naryo
[1]
Hersri Setiawan, Kidung Para Korban, Dari Tutur Sepuluh
Narasumber Eks-Tapol (Yogyakarta: Pustaka Pelajar kerja sama Pakorba-Solo
dan YSIK, Juli 2006), hal. 187
[2]
Hersri Setiawan, ibid. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar kerja sama Pakorba-Solo dan
YSIK, Juli 2006), hal. 190-191.
[3]
Hersri Setiawan, ibid. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar kerja
sama Pakorba-Solo dan YSIK, Juli 2006), hal. 110-111.
[4]
Wawancara Maryatun, Solo 19/4/05
[5]
Hersri Setiawan, ibid. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar kerja sama Pakorba-Solo dan YSIK, Juli 2006), hal.
56.
[6]
Hersri Setiawan, ibid. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar kerja sama Pakorba-Solo dan YSIK, Juli 2006), hal.
111-2.
[7]
Hersri Setiawan, ibid. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar kerja sama Pakorba-Solo dan YSIK, Juli 2006), hal. 108-109.
[8]
Wawancara Sunarti, Solo 19/7/00
[9]
Wawancara Maryatun, Solo, 19/4/05
[10]
Wawancara Sutarni,
Jakarta, 9/5/09
[11]
Wawancara Maryatun, Solo 19/5/05
[12]
Wawancara Suseno, Solo, É
[13]
Kustinah Sunaryo, atau biasa dipanggil
Kus Naryo, adalah pimpinan Pemuda Putri Indonesia Solo pada masa revolusi
kemerdekaan. Kemudian ia sempat menjadi ketua Gerwani cabang Surakarta dan
terpilih sebagai anggota DPRD Tk. II Surakarta dari F-PKI. Ia tinggal di Kelurahan Jagalan, Kecamatan
Laweyan; Partinah adalah salah satu pimpinan SOBSI; Kayati adalah juru tulis
Pemuda Rakyat Kota Solo yang juga pernah menjadi guru TK Melati di Jagalan. Ia
tinggal di Kelurahan Jagalan, bagian Kecamatan Jebres; sementara Ibu Harun
Al-Rasjid menjabat sebagai pimpinan Gerwani anak cabang Pasar Kliwon yang
kemudian menjadi ketua DPC Gerwani Surakarta. Suaminya adalah anggota pengawal Walikota Oetomo
Ramelan. Ia warga Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon.
[14]
Wawancara Sunarti, Solo, 19/7/00
[15]
Wawancara Maryatun, Solo 19/4/05
|
||